Cuaca hari H minus tiga, dua dan satu - tak terlalu mendukung nyali untuk pergi berangkat. Dari langit suara bergemuruh seperti bola bowling menggelinding. Hujan begitu lebat, teganya tak menyisakan birunya langit. Hitung mundur sudah dinyalakan, No point of return, rencana jalan terus. Tersisa harapan - jalan sedang dimuluskan dengan menguras seluruh air dari langit.

Sabtu pagi bertanggal 15 Maret awan gelap di selatan, pertanda hujan lokal segera turun. Semilir angin mengantar keberangkatan keluar perbatasan kota. Menyusuri tepian taman Nasional Kutai, menuju Samarinda. Suasana hutan menambah semangat, melupakan sementara kendala awan gelap mengejar di belakang. Suara knalpot menetralkan segala kekhawatiran yang biasanya menghantui saat-saat keberangkatan. Dari raungannya yang khas, si-macan mengisyaratkan kemauannya untuk terus jalan. Perjalanan sudah dimulai - tak boleh berhenti sebelum dihentikan.

Setengah jam dilalui pada kecepatan rendah untuk membiasakan diri dengan suasana jalan raya. Mencek kesiapan kendaraan, mencek tali pengikat bagasi, kalau-kalau masih ada yang bergoyang. Suara desis angin terasa menyenggol kaca helm yang sementara terbuka. Menarik napas dalam-dalam - menyesuaikan denyut nadi dengan putaran mesin si-macan. Setelah memastikan semuanya berjalan normal, kaca helm mulai diturunkan, desis angin mulai melemah, hanya tercecer nada bas monoton knalpot si macan pada putaran yang makin meninggi.